SINEMA TV UJANG PANTRY 2 ’POTRET NAJIS KAUM KAPITALIS’

24 hari setelah Mayday ’peringatan hari buruh internasional’, tepatnya hari Minggu tanggal 25 Mei 2008, sekitar pukul 8 malam saya menonton sebuah sinema tv di AnTV, dan berikut tulisan saya yang terinspirasi dari film tersebut;

‘sudah 3 tahun perusahaan ini bertahan hidup dari subsidi silang perusahaan lain yang satu grup dengan kita, dan sekarang perusahaan ini sedang membutuhkan pengorbanan untuk dapat terus bertahan’ kata pak Handoko. ‘tapi kenapa kita yang dikelas bawah yang harus dikorbankan bukan dari manajemen atau dari HRD misalnya. Jawab Ujang, ‘yah karena kalau kita mengadakan pemotongan tunjangan untuk kelas menengah ataupun atas, jumlah mereka sedikit sehingga tidak terlalu berpengaruh bagi perusahaan tapi kalau pemotongan tunjangan kesehatan bagi kelas bawah, jumlahnya paling besar sehingga sedikit banyak akan membantu perusahaan ini, ’ maaf kalau ini terdengar kasar, terus terang saja orang-orang yang mempunyai kemampuan dan posisi di tingkat eksekutif, sangat sulit dicari daripada para pekerja yang ada di tingkat bawah seperti anda’ ujar pak Handoko. ‘jadi kitalah yang harus selalu siap dikorbankan pak’, Kata Ujang lemas.’
Itulah sekilas percakapan antara pak Handoko dan Ujang dalam sebuah sinema televisi yang berjudul Ujang Pantry 2. Percakapan itu terjadi dalam sebuah forum negosiasi antara CEO dan perwakilan pihak pekerja kalangan bawah yang diwakili oleh Ujang. Hal ini menjadi menarik karena kejadian dalam film tersebut sering terjadi dalam kejadian sesungguhnya, dimana ketika para pekerja kelas bawah melakukan demonstrasi dengan tuntutan yang berkaitan dengan kesejahteraan selalu saja pihak pemilik modal, owner, CEO atau apalah sebutannya selalu berusaha meredakan situasi dengan mengadakan forum temu dan meminta perwakilan dari demonstran. Tidak jarang forum temu itu menjadi suatu kemunduran bagi para demonstran karena pemikiran mayoritas hanya akan terepresentasi oleh satu atau beberapa orang yang tentunya sangat mudah termoderasi. Seringkali pihak yang mewakili kelas bawah dipaksa untuk mengikuti logika-logika pemilik modal atau ‘LOGIKA-LOGIKA BORJUASI’, entah karena kemampuan intelektual dan penguasaan tehnik komunikasi yang biasanya jauh dibawah para CEO, yang pastinya mempunyai jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sehingga gerakan yang terjadi secara ‘organis’pun akan mudah dipatahkan. Memang terkadang forum temu tersebut dilakukan dengan mediasi, tapi tak jarang mediator yang ada tidak mampu merepresentasikan kepentingan kelas bawah dan justru menguatkan pihak pemilik modal. Hal itu dikarenakan sang mediator seringkali berasal dari kalangan birokrat yang mempunyai ‘kepentingan-kepentingan tersendiri’ atau paling tidak memang logika-logikanya adalah ‘logika-logika statistik dan angka’ yang jauh dari pemikiran-pemikiran humanis sehingga otomatis sejalan dengan pemikiran-pemikiran pihak pemilik modal, sedangkan apabila mediatornya adalah pihak yang ditunjuk kelas bawah seperti dari kalangan LSM, mahasiswa, aktivis gerakan sosial ataupun kelompok-kelompok sejenisnya, maka yang akan keluar adalah tuduhan bahwa gerakan para pekerja itu telah ‘ditunggangi’ oleh kelompok-kelompok ‘kiri’ atau ‘komunis’, sehingga berpotensi menimbulkan konflik-konflik horizontal dikalangan para pekerja dan masyarakat.

‘Perusahaan terdiri dari kumpulan orang-orang, oleh karenanya ia seperti manusia sehingga ketika perusahaan itu sakit dan mungkin harus diamputasi maka itu harus dilakukan’ Pak Handoko menjelaskan, ‘tapi mengapa harus kami’ ujar Ujang menghiba. ‘Bagaikan tubuh para eksekutif adalah otak, sedangkan kalian adalah jari, untuk tetap hidup mungkin kita bisa kehilangan jari, tapi tidak bila kehilangan otak’.
Analogi yang disampaikan Pak Handoko tentu saja akan sangat sulit dipatahkan oleh Ujang, tapi sebenarnya kalau kita telaah, analogi semacam itu mempunyai sisi kelemahan. Para pekerja bawah walaupun pekerjaannya hanya mencakup kerja-kerja operasional produksi dan bukan perencanaan atau apapun itu, sebenarnya merupakan motor penggerak atau penghasil ‘produk’ secara langsung. Bisa dibayangkan bila di sebuah perusahaan tidak ada yang mau mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan produksi perusahaan itu tidak akan menghasilkan apa-apa, sehingga keberadaan para pekerja kelas bawah tetaplah vital bagi perusahaan. Jika perusahaan adalah tubuh, para pekerja kelas bawah bukanlah hanya sekedar jari. Lebih dari itu Ia adalah kaki, tangan, perut dan juga mungkin dubur bagi perusahaan itu. Dengan demikian para CEO yang adalah kepala bagi tubuh itu, tetap tidak akan mampu melakukan apapun tanpa ‘tangan, kaki, perut atau bahkan jika hanya tanpa duburnya sekalipun’.
Akan tetapi, di Indonesia terkadang negara yang bertanggung jawab membuat regulasi justru menguntungkan para pemodal dengan membuat regulasi-regulasi yang menjadikan para pekerja khususnya pekerja kelas bawah hanya sebagai ‘RAMBUT ATAU KUKU’ bagi tubuh perusahaan, sehingga diasumsikan jika dipotongpun pasti akan tumbuh kembali. Seperti saat ini dengan menjamurnya model OUTSOURCING, yang menjadikan posisi pekerja sangat lemah. Hal itu menunjukkan bahwa negara dan para pemodal sebenarnya telah ‘berkongkalikong’ untuk menciptakan situasi yang jauh dari rasa ‘KEMANUSIAN YANG ADIL DAN BERADAB’ sehingga tujuan bangsa ini untuk menciptakan ‘KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA’ hanya merupakan retorika kosong yang tidak mempunyai makna apapun.
Oleh karena itu tulisan ini mengajak kaum pekerja untuk menyatukan sikap dan terus bergerak. ‘Kesejahteraan harus direbut karena tidak akan munngkin diberikan begitu saja dalam sebuah negara kapitalis seperti ini’. Konsisten dalam memilih mogok kerja dan aksi massa sebagai bentuk gerakan yang paling efisien, karena dengan mogok kerja secara serentak dan berskala nasional atau kalau mungkin berskala internasional akan memaksa negara dan pemodal untuk bergerak ke tepi, karena kerugian yang mereka tanggung, pada saat itulah para pekerja sebagai kaum mayoritas harus mampu mengambil alih kekuasaan.
Jangan sekali-kali mogok makan itu hanya menyiksa diri dan haram hukumnya, APALAGI KONSEPSI NEGARA INI TENTANG KESEJAHTERAAN MASIH JAUH TERBELAKANG.
‘Lha wong rakyatnya pada kelaparan, banyak anak-anak yang menderita gizi buruk bahkan busung lapar, negara tidak mampu melakukan apapun, malah menaikan harga BBM tanpa mampu mengendalikan harga kebutuhan pokok sehingga kelaparan bisa dipastikan akan semakin meluas, jadi negara ini belum memperhatikan rakyatnya yang kelaparan, kok ya masih ada orang-orang yang melakukan aksinya dengan mogok makan, ya sampai kurus kering pun negara tidak bakalan menanggapi’.
Jadi seperti perkataan Ujang ketika dia meminta Nadine pacarnya yang adalah salah satu eksekutif di perusahaannya untuk membantu memberikan pembelaan dalam forum temu, Nadine menolak dan ketika Ujang terus medesak dia hanya terdiam. Ujang berkata ‘ KATA ORANG DIAM ITU EMAS, TAPI ITU SALAH KARENA DISINI DIAM ITU ADALAH PENGHIANATAN’.
‘Teruslah bergerak dalam perjuangan kawan!, lawan rezim dan sistem yang menindas, dan yakinlah Tuhan pasti menyertai kita’.



Z-rio Evolusta. Mei 2008

Komentar

Koelit Ketjil mengatakan…
sugeng dalu pak guru...
seperti kartini bilang "betapa sempurnanya hidup menjadi guru sekalian murid...." tapi Kartini gak pernah tanya bagaimana kehidupan para Honorer & TKK
viva pendidikan Indonesia
ingat Republik kita masih Indonesia Bung!
SATRIO PRIHANTORO. mengatakan…
Ini blogku jaman biyen, tapi aku lupa caranya masuk ke akun ini. Piye ya?

Postingan populer dari blog ini

MISA LATIN TRADISIONAL