PENDIDIK YANG MENGENAL DAN MEMBERDAYAKAN

 (KAJIAN TENTANG LEARNED HELPLESSNESS DAN ANAK TINGGAL KELAS)

Pengantar

Masih sangat kuat diingatan, ketika di SMP hingga SMA, saat menjelang ulangan matematika atau pelajaran lain yang berhubungan dengan angka, seperti akuntansi ataupun ekonometri. Saya cenderung untuk menyerah dan lebih memilih untuk mengabaikannya. Sikap antipati itu terbawa hingga saat hendak memilih jurusan kuliah, saya memilih jurusan yang tidak banyak berurusan dengan angka-angka. Pikiran dan perilaku seakan sudah terprogram untuk menyerah ketika berhadapan dengan soal yang berhubungan dengan angka ataupun simbol-simbol. Saya yakin, hal ini juga banyak terjadi pada orang lain. Mungkin pada anda sendiri, anak anda, keponakan atau mungkin jika anda seorang guru, hal ini juga terjadi pada murid anda.
Learned Helplessness
Bagaimana sikap ‘menyerah’ atau merasa ‘tidak berdaya’ ini bisa terprogram? Dalam kasus saya dan angka, saya sendiri sudah bisa melacak, bahwa hal ini terkait dengan pengalaman masa kecil. Saat belajar matematika, kerap kali saya menghadapi hukuman fisik, atau minimal perasaan tidak nyaman ketika mengalami kesulitan dengan matematika pada waktu itu. Hal ini mungkin bisa dijelaskan dengan penelitian yang dilakukan Seligman (1967), ketika sekelompok anjing diposisikan pada tempat dimana mereka tidak bisa melarikan diri. Anjing-anjing tersebut disetrum. Awalnya anjing-anjing itu berusaha menghindar dan terus meronta, namun tetap saja tidak bisa menghindar. Situasi ini berlangsung lama dan berulangkali. Sehingga ketika mendapatkan perlakuan yang sama namun pada posisi dimana anjing-anjing tersebut bisa melarikan diri, anjing-anjing ini memilih untuk diam dan dengan sangat menyedihkan menerima dirinya untuk disetrum. Hal yang berbeda terjadi pada anjing-anjing yang tidak mendapatkan perlakuan awal, dimana anjing-anjing tersebut ditempatkan pada posisi tidak memungkinkan untuk melarikan diri. Saat diposikan pada kotak dan diestrum,berbeda dengan anjing-anjing sebelumnya, anjing-anjing tersebut langsung bisa melompat dan melarikan diri. Melalui percobaan itulah, Seligman merumuskan teori tentang learned helplessness. Fenomena yang sama sebenarnya juga terjadi pada gajah-gajah di India. Pelatih gajah mengikat anak gajah dengan tali yang diikatkan pada pancang kayu, awalnya anak gajah itu meronta dan ingin melepaskan diri, dan tentu saja selalu gagal karena tubuh anak gajah yang masih kecil. Tapi ketika gajah tersebut sudah dewasa dan bertubuh besar ketika diikat dengan tali dan pancang kayu yang sama, seharusnya dengan mudah gajah itu melepaskan diri, namun apa yang terjadi, ternyata gajah tersebut memilih untuk terikat pada tali dan pancang kayu yang sama.Anjing dan gajah tadi, telah kehilangan kemampuan untuk mengenali kekuatannya, sehingga tidak melihat kemungkinan untuk menjadi berdaya. Ada kesamaan antara saya vs angka, anjing  vs kotak dan gajah vs tali. Kami telah belajar bahwa apapun usaha yang kami lakukan akan sia-sia, saat berhadapan dengan objek-objek tadi. Ketidakberdayaan yang dipelajari atau learned heplessness yang dialami oleh anak-anak akan membuat anak tertinggal semakin jauh dalam pencapaian akademisnya.
Learned Helplessness dan Pemasalahan Akademik
Dalam konteks sekolah dengan kurikulum yang terstandar dan penilaian yang terstandar, terkadang guru terdorong untuk terlalu memikirkan target kurikulum. Sehingga kurang awas dengan kemampuan awal tiap individu siswanya. Hal ini membuat anak-anak tertentu harus menghadapi kegagalan yang berulang-ulang yang membuat mereka belajar untuk merasa tidak berdaya, hingga lebih memilih mentolerir situasi negatif yang didapat karena kegagalannya. Ketika guru menyadari bahwa Learned Helplessness ini mematikan fitrah pembelajar yang ada pada anak-anak, menghilangkan kemampuan untuk mengenali potensi dirinya dan lebih jauh lagi kehilangan motivasi belajar. Memahami bahaya Learned Helplessness akan membuat guru lebih waspada dan hati-hati dalam memberikan pendampingan untuk anak-anak ini.
Pendidikan awal, dalam hal ini Sekolah Dasar (SD) memiliki peran yang paling penting dalam membentuk persepsi seseorang tentang belajar yang kemudian termanifestasi dalam perilaku belajar. Pada jenjang inilah anak-anak belajar hal-hal dasar dalam belajar, seperti; membaca, menulis dan berhitung, serta hal-hal mendasar lainnya yang akan menjadi pondasi dalam membentuk pribadi pembelajar selanjutnya. Di saat masa belajar awal ini pulalah potensi anak-anak mengalami Learned Helplessness ini sudah cukup besar. Ketika anak-anak ini terlanjur merasa tidak berdaya menghadapi pelajaran tertentu. Merasa bahwa itu adalah diluar kontrol mereka dan membuat mereka kehilangan kesadaran akan potensi yang dimilikinya. Maka pondasi bangunan belajar yang mereka miliki akan sangat lemah, sehingga permasalahan pencapaian akademik akan sering muncul. Apalagi dalam sistem kurikulum terstandar dan penilaian terstandar, kemungkinan harus tinggal kelas menjadi suatu keniscayaan. Satuan pendidikan biasanya memiliki syarat kenaikan kelas, sebagai suatu cara memastikan bahwa anak-anak yang naik kelas benar-benar memiliki kompetensi yang telah digariskan dalam kurikulum.
Permasalahan Tinggal kelas di SD
Berdasarkan ikhtisar data pendidikan 2015/2016 yang dikeluarkan kementerian pendidikan dan kebudayaan yang dimuat Kompas (2016), jumlah siswa yang tinggal kelas terbanyak justru berada di jenjang SD, dengan angka mencapai 422.082 anak, jumlah tertinggi di kelas I, sejumlah 194.967, kemudian terbanyak berikutnya ada di kelas II, sejumlah 89.561 anak dan kelas III,  sejumlah 65.493. Jika menilik pernyataan praktisi pendidikan Itje Chodidjah yang dimuat Kompas (2016), bahwa kemungkinan adanya keengganan guru SD kelas I mengajarkan menulis dan membacalah yang membuat banyaknya anak tinggal kelas pada siswa kelas I SD.  Kebenaran pernyataan tersebut memang perlu diteliti lebih lanjut, namun jika kita menelisik lebih lanjut, saat ini memang sudah jamak sekali anak-anak TK diajari calistung di supaya siap masuk SD, padahal secara umum, kelas 1 SD merupakan jenjang dimana anak-anak mulai belajar menulis dan memang faktanya banyak anak-anak masuk SD belum bisa membaca dan menulis. Bahkan dalam PP 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, terutama pasal 69 dan 70 jelas diatur bahwa dalam proses penerimaan siswa baru di jenjang SD tidak diperbolehkan adanya tes baca, tulis dan hitung (calistung).
Gap antara ekspektasi akademik dan kemampuan awal anak-anak di kelas I ini bisa diduga menjadi penyebab banyaknya anak SD yang tidak naik kelas. Permasalahan yang muncul, dengan tidak naiknya anak di kelas 1, tidak hanya akan menjadi masalah akademis saja. Dalam kajian psikologis, tidak naik kelas bagi anak-anak bisa menjadi psychological abused, atau siksaan psikologis. Menurut LaBier dalam Huffpost (2014), berdasarkan studi yang dilakukan American Psychological Association ketika psychological abused ini terjadi pada anak-anak, dampaknya akan sangat signifikan dan sangat lama. Permasalahan psikologis seperti kurangnya kepercayaan diri, depresi dan kecemasan berlebihan seringkali merupakan dampak dari psychological abused yang terjadi pada masa anak-anak, hal-hal itu tentunya mempengaruhi banyak aspek kehidupannya secara negatif.
Dari uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa masalah tinggal kelas di usia dini, bukanlah masalah sepele. Sehingga harus dipahami oleh para guru dan juga para orangtua selaku pendidik, untuk selalu mencari solusi bagi permasalahan ini. Uraian sebelumnya tentang Learned Helplessness dalam tulisan ini, cukup menjelaskan salah satu faktor penyebab permasalahan akademik yang dialami anak-anak disekolah, termasuk didalamnya, permasalahan tinggal kelas.
Tawaran Solusi
Menghindari dan mengantisipasi anak-anak tinggal kelas dan bermasalah secara akademik, jika dikaitkan dengan Learned Helplessness. Ada beberapa hal yang perlu dipahami dan dilakukan oleh seorang guru maupun orang tua selaku seorang pendidik.
Pertama, harus disadari bahwa Learned helplessness dan tinggal kelas ini cukup berbahaya secara psikologis bagi anak-anak. Dengan kesadaran ini. Harapannya guru dan orangtua termotivasi untuk tidak menempatkan anak pada posisi berhadapan dengan capaian belajar yang tidak mungkin. Sehingga berpotensi gagal berulangkali. Apalagi ditambah dengan hukuman jika target tidak tercapai. Contohnya di kelas 1 SD, anak diminta menjawab soal isian berdasarkan bacaan, saat anak belum bisa lancar membaca.
Kedua, konstruksi instruksional guru harus didasarkan pada kemampuan awal si anak dalam hal ini subyek didik. Salah satunya dengan menerapkan curriculum based assesmen (CBA), untuk memahami kemampuan awal siswa dalam materi pembelajaran yang akan dipelajari. CBA adalah pengukuran melalui serangkaian pengamatan dan rekaman atas kemampuan siswa dalam kurikulum yang digunakan. Hasil pengukuran tersebut digunakan dalam penyusunan skenario dan strategi pembelajaran (Deno, S.L., & Fuchs, L.S.,1987). Prinsipnya adalah bagaimana guru mengajar berangkat dari kemampuan awal siswa. Dalam contoh pertama tadi, di kelas 1 SD, anak diminta menjawab soal isian berdasarkan bacaan, saat anak belum bisa lancar membaca, hal ini seharusnya tidak terjadi, ketika guru menyadari bahaya Learned helplessness dan telah memahami kemampuan awal anak tersebut. Guru akan menggunakan bacaan yang ada untuk latihan membaca dan isian jawaban sebagai latihan menulis dengan pendampingan individual. Dibarengi dengan rewards atau pujian saat anak berhasil membaca dan menulis saat dalam pendampingan, sehingga ditengah ketertinggalannya, anak masih merasa nyaman dan dihargai oleh gurunya. Disini anak akan merasakan ‘sensasi’ merasakan keberhasilan. Anak  mempelajari optimism atau learned optimism. learned optimism sendiri adalah  teori mekanisme psikologi yang dikembangkan Seligman (1991) untuk mengatasi Learned helplessness.
Ketiga dan ini tidak kalah penting, untuk melakukan CBA dan menentukan skenario dan strategi pembelajaran. Guru harus benar-benar memahami konstruksi materi bahan ajar. Kembali pada contoh, di kelas 1 SD, anak diminta menjawab soal isian berdasarkan bacaan. Guru harus memahami bahwa sebelum mampu memahami bacaan, sesederhana apapun itu, anak harus lebih dulu mengenal dan membaca huruf, mampu membaca rangkaian huruf dalam kata, mampu membaca susunan kata dalam kalimat dan mampu membaca serta memahami kalimat dalam suatu paragraf, baru anak bisa diajak untuk memahami bacaan. Begitu juga untuk menulis jawaban soal isian, kemampuan anak dalam menulis kata harus dipastikan terlebih dahulu.  Pembelajaran harus mengacu pada teori hierarkhi belajar, bahwa ada komponen-komponen kemampuan yang harus dikuasai terlebih dahulu, bagi seseorang untuk mempelajari bagian yang lebih kompleks dalam pembelajaran  (Gagne & Driscool, 1998).
Tiga hal yang harus dipahami, disadari dan dilakukan dalam uraian diatas merupakan suatu dasar-dasar yang ditawarkan untuk mengatasi learned helpessness dan tinggal kelas. Tidak mudah memang, namun dengan kemauan yang keras untuk menciptakan optimisme dan gairah belajar, hal tersebut penting untuk dilakukan. Generasi pembelajar yang sehat, tidak mungkin tercipta dari proses yang menyiksa dan tidak memberdayakan. Mengenal kemampuan awal anak-anak dan subyek didik kita, memahami karakter mereka serta memberdayakan dalam artian membuat mereka untu memahami potensi yang mereka miliki dan bukannya mematikan kemampuan tersebut, sehingga membuat mereka tidak berdaya. Mengenal dan memberdayakan merupakan esensi dari proses pembelajaran yang bermartabat dan memanusiakan. Mengenal dan memberdayakan adalah kunci keberhasilan pendidikan.

  
Daftar Pustaka
400.000 Siswa SD Tak Naik Kelas (2016, Oct 10). Kompas. Retrieved from http://print.kompas.com/baca/dikbud/pendidikan/2016/10/10/400-000-Siswa-SD-Tak-Naik-Kelas
Deno, S.L., & Fuchs, L.S. (1987). Developing curriculum-based measurement systems for data-based special education problem solving. Focus on Exceptional Children, 19(8), 1–16.
Gagne, Robert  M And Perkins Driscool (1998). Essentials Of Learning For Intructions. Prentice Hall, New Jersey Usa.
LaBier (2014) Childhood Psychological Abuse Has Long-Lasting Impact. Retrieved from https://www.huffingtonpost.com/douglas-labier/childhood-psychological-a_b_6301538.html
Seligman, M. E. P (1991), Learned Optimism, New York: Knopf
Seligman, M. E. P., & Maier, S. F. (1967). Failure to escape traumatic
shock. Journal of Experimental Psychology (74) 1–9. http://dx.doi.org/
10.1037/h0024514

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SINEMA TV UJANG PANTRY 2 ’POTRET NAJIS KAUM KAPITALIS’

MISA LATIN TRADISIONAL